Sabtu, 26 Februari 2011

Milenia

Satu hari takkan cukup

menampung cintaku

entah mana yang lebih mampat diantaranya

satu matahari tak bisa menyinari ruang hati untukmu

entah apa cahya

jadi, tersenyumlah, Manisku.

Kalaupun Ia mampat jadi satu hari

kan aku padatkan dalam satu hembusan nafas, Ijab-Ku

Manisku, perahu kita bukan kapal cepat

bahkan kapal pesiar

cukup perahu kayu asmara dan taing percaya

Manisku, tersenyumlah

Ku kecup manismu disana

bergandeng tangan bukan hanya sehari

tapi bermilenia surya.

-Muharram, 140211-

Kerja

Dik, hari ini sepeda angin dulu yang mampu ku beli

nanti. nanti. nanti,Dik. Mas akan beli sepeda motor

sabarlah. bukankah kita sudah terbiasa untuk sabar

bersabar pada harga yang kian menjauh serta

kemuraman yang keterlaluan mendekat

sabar,Dik

Pak Presiden kita yang gagah itu bilang ekonomi kita meningkat

Rakyat sejahtera, dan pendapatan negara menembus sejarah

aku percaya padanya,Dik.

ya! kita semua harus percaya pada Sang Tuan Paduka Presiden Republik ini

orang seperti beliau dan keluarga serta teman-temannya

tentu memikirkan nasib kita.

rapat-raoat sudah terlaksana, bahkan gebrakan telah dimulai

sabar,Dik. hasilnya masih sabar.

sepeda angin ini bisa bawa kita kemana saja

nanti klo Mas libur kita jalan-jalan.

nanti. nanti. nanti,Dik

biarlah Pak Dewan yang berlibur dulu.

mereka sudah banyak kerja buar kita. Rakyat Indonesia

mereka pantas dapat jatah liburan keluar negeri

liat tari perut juga gak apa-apa

(perut kok ya diliat hahahaha entahlah kan mereka lebih pintar)

Dik, Mas tidur dulu ya. bangunkan aku satu jam lagi

kita harus bangun lebih pagi dari matahari dan tidur lebih malam dari bulan

kita mesti kerja!

Muharram, Feb 11

Sekayuh Berdua

Hari lalu ada kabar dari abang.

Katanya purnama nanti kan datang Ayahda.

Meminta Nasibku untuk berduet denganmu

Aku nanti jua hari ini tiba.

Berdebar jantungku yang hendak berbagi denganmu.

Dengan mutiara-mutiara yang nanti kan muncul dari benihmu.

Bang, hari mendung begini

Mantel kau bawakah?

Yang ku pikir sekarang,

Siapa yang mengayuh becakmu kemari

Ayahda atau dirimukah,Bang?

Mungkin pula bergantian mengayuh demi tanak nasi di dapur

Dan aku tersenyum,

Membayangkan bulan haji depan aku yang kau kayuh.

Muharram, Des10-Jan11

Alamat


seperti malam kemarin,

ketika lemah kaki merayapi sepi yang mulai menghutan

aku tahu sudah kemana harus melangkah

tak perlu sinar seberkas atau pelita lilin

cukup sudah hati dan tekad menerangi jalan



tinggal kini aku menanti dalam jalan

apa yang ada di depanku?

alamat pulang masihlah jauh

sebab peta menunjukkan banyak tikungan gunung dan neraka

belum jua aku temui mereka lebih dari kemarin.



alamat pulang masihlah jauh

atau ia hanya sejengkal dari mataku?



muharram,

Aku Ingin Pulang


Aku ingin punya rumah

dengan Ibu yang menyiapkan sebuah peluk untukku

seseorang yang menanti kedatanganku

dengan tulus tanpa tudung hitam-putih.

Seperti apakah rumah itu?

Dengan dinding anyaman rambut

serta atap teduh matamukah?!

Sungguh jauh perjalanan menuju rumah

ketika mendekat ia menjauh

Aku ingin pulang.

Bisakah?

Tak ada peta atau penunjukka arah.

Tak ada mata yang dapat ku tanyakan kemana

Tak ada angin yang mengabarkan kutup utara atau baratdaya

Perjalan ini makin sepi saja.

Kawan dan berita hanya berlalu,

Sementara gadis-gadis lalu tersenyum gagu.

Ibu,

Wanita yang menanti kepulanganku itu

Akankah setulus rahimmu

Menampungku ribuan bulan

Tanpa bertanya apa dan bagaimana selain percaya.

dalam perjalannya akan ku ceritakan semua hidup ini.

Ibu, ada gadis manis di ujung sana.

Kan ku gandeng pulang jumpa denganmu

Semoga tak lepas ia dimakan sepiku.

Aku ingin pulang.

Muharram, 24 feb 11, entah dimana.