Minggu, 08 November 2009

Ashish

aku berlabuh pada tepian jurang
ombak datang dan pergi menghantam
aku coba tetap buang sauh dalam-dalam
berharap kaki dan tangan tak dusta hingga terbuang

inilah mimpi kemarin malam
ketika aku memilih untuk tetap bertahan
mengharap jalani tiap godaan malam
dengan secangkir kopi, kretek dan ketan

ibu, perjalan segini dangkal
akan terbayar dalam jiwa yang tenggelam
melempar nafas pada ashish yang kekal
aku senyum lambai sejumput nakal

ashish,
aku pasti datang kesana
memelukmu berteman malam
tunggu aku membangun pelabuhan
kita gandeng tangan sampai terasa suram

dan bayangkan anak-anak kita
berlari diatas papan yang kita tumbangkan dengan cinta
mereka tertawa dan berpinak sebentar
lalu kita buang ia terbang dalam iman.

cinta akan menutup semua kekurangan
dan apa yang kita punya akan terjaga
hiduplah untuk menjadi bagian terindah dari-Nya
dan kembalilah dalam tidurmu yang lelap.

ashish,

-muharram, nov 09- Ditulis pada hari Jumat · ·
Sabina Ananda
Sabina Ananda
Ashish itu artinya apa?
Jum pukul 14:30 · Hapus
Aiiyuw Ezta d'Rissle
Aiiyuw Ezta d'Rissle
kw mmg sastrawan...
tp ckrg kq jrg ngirimin puisi??
Kemarin jam 3:05 · Hapus
Aiiyuw Ezta d'Rissle
Aiiyuw Ezta d'Rissle
kw mmg sastrawan...
tp ckrg kq jrg ngirimin puisi??
Kemarin jam 3:06 · Hapus
Nurul Hidayah Riyadi
Nurul Hidayah Riyadi
hehe tri ma rangga, lingi ade...

Ashis,,,,???
Kemarin jam 12:56 · Hapus
Rachmad Papa Genit
Rachmad Papa Genit
ashish = harapan
11 jam yang lalu · Hapus
Rachmad Papa Genit
Rachmad Papa Genit
@ayu. iya ya? wah makasih beut,....

Minggu, 01 November 2009

Surat Untuk Ibu


assalamualaikum, ibu.

telah kukirim beratus cahaya.
sampaikah?

lewat waktu ini anakmu ingin mengiba.
menghatur rindu yang berjuntai kemana
dibakar makin terasa ada.

ibu,
masihkah sepi kau berdiri?
senyumkah kau menerima hadiah malam dariku
atau,
menangiskah engkau diasapi malu karenaku.

ibu. dalam pelukmu yang menganga kasih
aku serahkan diri menanti senyummu yang syahdu

tahukah kau, wahai ibunda
akan ada darahmu yang kan mengalir setelah ini.
yang menyatukanku dengan dia yang mengenal mudamu
yang akan mengembangkan pinak kami jadi milikmu kedua

ibu,
sampai sini saja kali ini.
esok malam kita kan bercanda
saling lempar kalimat-kalimat gurau sampai senja mati.

-muharram, 10 10 09-

Naskah : Mencari Sketsa Wajah Tuhan


Mencari Sketsa Wajah Tuhan
R. Muharram


sebuah bayang bergerak cepat. Lincah. Seprti dikejar mimpi buruk. Seperti menari. Dalam kalut penuh kabut ia tiba-tiba diam. Terpasung badannya yang panik seperti terpenjara waktu. Ia berontak dan mulai kelelahan dengan liat. Hanaya mulutnya yang bicara. Sementara itu, disekelilingnya mulai bersuara mencari apa yang sama ia cari. Mantra.

→ padamu aku jatuh tanpa warna, rasa dan roh
,...

ia ulang kalimat janji itu berkali-kali hingga kelu lidahnya. Ketika mulai tenang, meski ia bingar, ia mulai mengeluh.

→ bau dupa, lawar anyir, sesaji busuk
suara mantra, kepungan asap, mantra
bunga-bunga busuk
bau aneh melukai nafasku

→ orang-orang mulai rontok
inikah cara terbaik menjemputmu
wajahmu ada dimana-mana
wajahmu ada dimana-mana
,....
,....

mulai letih ia dengan dunia. Mencoba berlari pelan saja

→ wajahmu ada dimana-mana
wajahmu ada dimana-mana
,....
******

dua orang pencari jiwa muncul seperti kembar siam meski mereka terpisah badan.

→ kupas nyawa dalam nyali jiwa melompong
melahirkan jerih yang makin menggelepar
nafas kerauhan dan wajah-wajah dewa tanpa nama turun
mengisi setiap sudut jiwa
mengupas misteri mistik
menyekutukan alam

mereka bicara seakan berdoa. Seakan mengumpat.

→ arak anyir mulai diserap tanah
aku melihat asap dupa kelelahan
upacara selesai

→ ada anjing mengamuk melingkari tumpukan sesaji
ada ayam memanggil seratus anaknya
ku hitung gerak waktu yang melingkar di otakku
kulihat langit gelap
kau tak muncul
upacara selesai

→ bau kemenyan
malam mengeja rahasia hidupnya
bunga-bunga memperlihatkan keangkuhannya
kemana aku harus berpaling
mencari wajahmu
upacara selesai

mengiba mereka. Mulai kaku.
Sementara suara mantra-mantra kian uat terdengar. Mulai menyanyi.
Bayangan tadi muncul kembali. Kali ini berteman.
Satu panik. Satu sedih.

→ ku urungkan langkah
mencari jejak yang pernah kau titipkan pada tanah
suara mentra mengupas sunyiku
aku merasakan nafas para dewa mengepung tubuhku.

→ nafasmu ada pada lipatan tubuh manusia
jiwaku tersembunyi dikotak wayangmu
setiap detik kau buatkan alur cerita dan dongeng.

→ calo-calo dalam bentuk dewa

kali ini ia sedih

→ calo-calo dalam bentuk dewa

kali ini marah

→ calo-calo dalam bentuk dewa

kali ini bertanya curiga

→ calo-calo dalam bentuk dewa

kali ini puas tertawa

→ calo-calo dalam bentuk dewa

kali ini mantap ia berikrar


salah satu bayang pergi. Yang lain iam sendiri. Menari.

→ wajahmu mungkin ada pada kerak nasi yang tertelan
masuk ke tnggorokan
terlipat seperti gesekan darah
yang tersembunyi di balik urat

→ wajahmu
pada tugu batu yang kaku dan dingin

kali ini suara I

→ wajahmu
pada tumpukan lontar tua

kali ini suara II

→ wajahmu
pada tubuh coro-coro yang merusak mantra rahasia

kali ini suara III

→ wajahmu
pada kerakap dibalut kain putih hitam

kali ini suara IV

bayangan yang tadi pergi kini datang kembali. Membawa sesuatu ia untuk bayang yang menanti.

→ kelak, seratus tahun lagi
anak cucu mengeramatkan benda-bendamu
untuk mencari wajahmu

mantra kembali terdengar. Lebih syahdu. Lebih sedih.

→ suaramu ada pada kesenyapan
ada pada tanda tanya, koma, titik, seru
mungkin juga terselip di otak para ilmuwan
satu keinginan ku
meminjamnya sehari, dua hari
sementara,
wajah milikmu terlukis tajam
dalam sketsa panjang di pori-pori tulangku

→ inilah cara terbaik menjemputmu
aneh, aku tak pernah mengenalmu

→ wajahmu ada dimana-mana
pada tumpukan sesaji busuk
menjelma tanah dan terinjak

→ wajahmu ada dimana-mana
pada warna bunga yang bergairah
yang meretaskan jiwa hingga lunglai
dimakan senyap

dua orang selayak kembar siam, saling melepas diri. Tertarik dua bayang yang pergi beda arah. Seakan menemukan jalan sendiri. Tak peduli satu sedih. Satu bahgia.

→ aneh, aku tak pernah mengenalmu
aneh, aku tak pernah mengenalmu
aneh, aku tak pernah mengenalmu
aneh, aku tak pernah mengenalmu
,...


→ bau dupa, lawar anyir, sesji busuk
suara mantra, kepungan asap, mantra
bunga-bunga busuk
melukai nafasku

*******
--------------------------
---------------selesai-----------------------------------------------
16 okto 09

*naskah ini merupakan adaptasi puisi Mencari Sketsa Wajah Tuhan karya Oka Rusmini.
** diperlukan kreatiitas dan imajinasi lebih dalam penggarapan naskah ini.

Selamat berkarya.

(pertama kali dipentaskan oleh Teater kedok 31 oktober 2009)