Rabu, 25 Maret 2009

GJ

sesepi apa aku merajuk juga padamu
menepi pada sisimu yang kasih

sayang jangan ragu bila pergi
mantapkan hati lurus kedepan
berbeloklah bila hati dan logika ada

aku tetap disini seperti ini
kadang terpaku
kadang terharu

sayang,...


saat aku mencintaimu
aku mengambang jadi sepi
sebab bayangmu tak hampiri
hanya sepi yang temani


saat aku mencintaimu

Selebihnya Aku Berdusta

Selebihnya aku berdusta.

Sayang, aku ialah sepi yang tak bisa hingar
menempatkan mimpi yang melayang dalam pasar
janji-janji sempat terucap itu memang janji
tak pernah ada yang bisa kutepati.

Beribu detik memang terlewat dengan cinta
selanjutnya, aku hanya rasa biasa
senyum yang terbang percuma
serta, mata yang sayu memandang penuh rasa.

Purnama ini ku takkan datang hampiri
sebab janji telah terbagi
jangan sedih atau meratap, kasih
sebab aku tak ada bukan tuk cari kasih

acuh beribu ku tujukan untukmu
sabar yang kau beri sejuta demiku
apakah aku layak jadi kasih yang bingar
ketika kau sendiri sepi terkapar

aku hanya punya hati dan raga.
Satu untuk kau peluk
satu untuk kau cinta
satu untuk kita satu.

Sayang selanjutnya ialah dusta
aku jatuh hati padamu.,

muharram, 24 novenber 2008

Catatan Gunawan Muhammad


Kopi paste dari tempo 15 mei 2006

Dunia harus hancur, kata mereka. Tuhan menghen-daki itu. Telah dinubuatkan perang penghabisan akan pecah, kata mereka. Iblis akan dihadapi dalam Armagedon itu, surga akan terkuak, dan ”Yang Setia dan Yang Benar” akan turun mengendarai seekor kuda putih.
… memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan
nama-Nya ialah: ”Firman Allah”. Dan semua pasukan
yang di surga mengikuti Dia, mereka menunggang
kudapu-tih dan memakai lenan halus yang putih bersih.
Dan da-ri mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam
yang akan memukul semua bangsa….
Gambaran yang seram itu dikutip dari Wahyu, bagian ter-akhir Alkitab. Saya tak tahu apa hubungannya dengan- zaman ini. Tapi mereka—orang-orang fundamentalis Kristen di Amerika—menganggap itulah ramal yang pasti. Armagedon bukan hanya pasti terjadi, tapi juga, kata mereka, akan meletus di masa kini, di Timur Tengah, sebelum datang ”Yerusalem yang Baru” di mana tak akan ada lagi laknat.
Maka mereka menantikan perang itu….
Akan terkejutkah kita bila hari-hari ini orang-orang fundamentalis itu harap-harap cemas memandang Iran sebagai ”Iblis” yang disebut dalam nubuat itu? Saya duga mereka akan bergembira melihat presiden negeri itu: kulitnya gelap, matanya menatap dari rongga yang dalam, cambangnya kencang, dan kata-katanya muram mengancam akan menghancurkan Israel dan menyiapkan senjata nuklir. Mereka akan ber-gembira sebab kepercayaan mereka akan dibenarkan, sang Antikristus telah muncul, Armagedon akan terjadi, dan halleluyah, bumi baru akan datang.
Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan. Sebab itu, mereka cegah waktu dari doktrin, tiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang mandek. Bagi mereka hidup di dunia selalu terancam najis. Sebab itu Tuhan ada-lah suara amarah: ”dari mulut-Nya keluarlah sebilah pe-dang- tajam yang akan memukul semua bangsa.”
Aneh, sebenarnya: Tuhan sebagai pembinasa, hidup se-bagai cela. Padahal kaum fundamentalis itu tak perlu- berkeluh-kesah. Mereka tak menanggung sakit dan mis-kin. Mereka orang Amerika yang makmur. Pengumpul-an pendapat oleh majalah Newsweek menjelang akhir 1999 (dua bulan sebelum milenium baru) menunjukkan 40 per-sen penduduk negeri itu percaya akhir zaman akan terjadi melalui Perang Besar Armagedon. Artinya mereka percaya seperti tertulis dalam Wahyu: setelah perang itu, setelah Iblis akan dilemparkan ke jurang maut, ”kemah Allah” akan ditegakkan di tengah manusia, dan Ia akan menghapuskan air mata dan kematian.
Begitu rentankah orang-orang itu terhadap duka dan ajal, hingga bagi mereka surga di bumi adalah kehidupan tanpa perkabungan dan ratap tangis? Kenapa mereka tak menggambarkan surga sebagai situasi tanpa ketidakadil-an?
Apa pun sebabnya, Juru Selamat dalam bayangan kaum Kristen fundamentalis tampaknya tak sama dengan ”Ratu Adil” dalam bayangan orang-orang melarat di Jawa. Mungkin ”adil” bukanlah persoalan pokok mereka.
Dalam sebuah buku yang kini dilupakan, Prophecy and Politics (terbit pada tahun 1986), Grace Haskell memberi ilustrasi bagaimana yang dirayakan kaum Kristen fundamentalis itu justru apa yang tak adil. Buat menyiapkan buku itu Haskell pergi ke Israel dua kali bersama rombong-an Pendeta Jerry Faldwell. Orang-orang ini—kemudian disebut sebagai ”Zionis Kristen”—sangat siap untuk meng-elu-elukan ketidakadilan yang menyakiti orang Palestina. Mereka percaya bahwa janji Tuhan kepada Abram dalam Kejadian—akan ada negeri baru dan akan dijadikan Bani Israel ”bangsa yang besar”—berarti berdirinya Negara Israel seperti sekarang. Mereka tak peduli bila dengan demikian orang Palestina yang Kristen ter-masuk yang dizalimi. Bagi mereka, seperti di-tulis Haskell, tiap tindakan yang dilakukan Israel sudah diatur Tuhan, dan sebab itu harus didukung.
Tentu tak adil. Tapi mereka sadar, dengan ke-tidakadilan itu amarah akan berkobar, perang akan meletus, nubuat Armagedon akan terlaksana, akhir zaman akan tiba dan ”keraja-an seribu tahun” Kristus akan datang.
Maka kaum ”Zionis Kristen” selalu men-desak agar bantuan AS kepada Israel tak ber-kurang—dan berusaha agar perdamaian tak terjadi. Pada tahun 2000, tiga orang fundamentalis fa-na-tik Amerika mencoba meledakkan Masjid Al-Aqsa untuk memprovokasi kemarahan orang Pales-ti-na. Pada tahun 2003, Senator Tom DeLay, yang kurang-lebih mengikuti keyakinan yang sama, da-tang ke parlemen Israel dan mengatakan, ”tak ada nilai-nya sikap di tengah-tengah dan mengambil posisi moderat.”
Dengan kata lain: yang kuat tak perlu mengalah; kekuasaan melahirkan legitimasinya sendiri….
Mungkin ini menjelaskan kenapa Tom DeLay bisa meng-halalkan keterlibatannya dalam skandal keuangan yang kemudian terbongkar, sebagaimana Amerika bisa membenarkan dirinya untuk merencanakan 125 bom nuklir baru tiap tahun sementara ia melarang negeri lain melakukan hal yang mirip, sedikit.
Tapi, sekali lagi, adil bukanlah urusan pokok di situ. Maka di manakah, dalam pandangan itu, apalagi dalam doktrin kaum Zionis Kristen, orang ingat khotbah Yesus di bukit? Di manakah suara yang memuliakan mereka yang miskin, yang lemah lembut, yang membawa damai dan sebab itu layak ”disebut anak-anak Allah”?
Saya tak tahu. Yang saya tahu, Allah diseru di mana-mana, tapi bersama itu juga dilakukan kebengisan. Kita sering mendengarnya dari mulut muslim, tapi sebetulnya tak ha-nya muslim. Agaknya itulah inti surat Presiden Ahmadinejad kepada Presiden Bush: ”Tuan Presiden, Tuan mungkin tahu saya seorang guru. Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan [Amerika] dipertautkan dengan nilai-nilai…yang dibawakan Yesus Kristus, nabi perdamaian dan permaafan….”
Tentu saja Bush tak menjawab.
Goenawan Mohamad

Kata Cinta


ketika aku mencintaimu

aneh benar rasanya ketika aku mulai merasakan ada cinta itu dihatiku,
cinta yang terbalut sebuah kepercayaan. cinta yang kini bertuliskan namamu.
telah berapa lama kita bersua dan mengenal? namun baru kini aku rasa mencintaimu.
cinta yang tak tahu aku kapan akhirnya.

ketika aku mulai mengenalmu
aku jadi kecewa, bukan. bukan karena kau yang ini itu.
tapi karena aku yang tak mampu mencinta dan memberi kasih yang sepadan seperti kau terhadapku.

lihatlah aku disini.
aku menanti.

entah sampai kapan aku menanti, dan
entah sampai kapan kau akan kembali,
yang aku tahu aku akan terus menanti.

Faktor Penyebab Campur Kode


Faktor Penyebab Campur Kode.
Menurut Ohoiwutun (2002 : 71) penggunaan campur kode bias di dorong oleh keterpaksaan, seperti penggunaan campur bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia mengacu pada prinsip berbahasa yang singkat, jelas, dan tidak berdwimakna. Dan jika dipadan ke dalam bahasa Indonesia dapat menjadi frase atau kalimat yang panjang, kurang jlas, dan mungkin bermakna ganda. Selain itu, ada beberapa factor yang berhubungan dengan pembicara dan pendengar, laras bahasa, tujuan berbicara, topic yang dibicarakan, waktu, dn tempat berbincang.
Basir (2002 : 65) menyebutkan beberapa alas an terjadinya campur kode yaitu,
1.Adanya keterbatasan padanan kata.
2.Pengaruh pihak ke dua.
3.Kurang menguasai kode yang dipakai.
4.Pengaruh unsur prestise.
Selain itu, basir (2002 : 65) juga mengatakan alasan seseorang mencampur dua bahasa atau beberapa kode bahasa yang berbeda dalam suatu tindak tutur ialah ingin menciptakan adanya situasi yang santai sehingga pemrtuturan berlangsung tanpa beban.
Suwito (1983: 77) menyatakan latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Kedua tipe ini saling terkait dan bergantung serta sering tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

Campur Kode


1.Campur Kode.
Pembicaraan alih kode takkan lengkap tanpa pembicaraan tentang campur kode sebab keduanya saling berkaitan dalam sebuah masyarakat tutur yang multietnik dan multibahasawan. Sama halnya dengan alih kode, campur kode juga merupakan sbuah gejala peleburan budaya terutama bahasa akibat dari proses adaptasi. Proses adaptasi ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, tingkat social, dan tingkat penguasaan bahasa pertama dan bahasa kedua.
Campur kode ialah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk didalamnya pemakai kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. (Kridalaksana, 2008 : 40)
Ohoiwutun (2002 : 69) menyebutkan bahwa campur kode ialah penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain.
Weinreich (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2007 : 66) mengatakan bahwa campur kode hampir sama dengan interferensi, yakni penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat dari pengenalan mereka lebih dari satu bahasa, yaitu sebagai hasil dari kontak bahasa.
Campur kode menurut Nababan (1993 : 16) terjadi jika seseorang mencampur dua bahasa atau ragam bahasa hanya oleh karena mudahnya dan bukan karena dituntut keadaan berbahasa itu. Ini berarti proses campur kode bukan saja karena factor keterbatasan kata dalam suatu bahasa tetapi juga faktor kebiasaan dan faktor prestise.
Kachru (dalam Fitriyah, 2005 : 24) membeikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Campur kode terjadi apabila seseorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsure-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode bahasa.
Nababan (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2007 : 87) menyatakan ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal karena tidak ada kata atau ungkpan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Seorang penutur misalnya, dalam berbicara Indonesia banyak menyelipkan bahasa daerahnya, maka penutur itu dapat dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, muncul satu ragam bahasa Indonesia yang keminang-minangan atau ke jawa-jawan.
A : “assalamualaikum wai”
B : “waalaikumsallam oe Rita, lu u masuk!”
Klausa pertama penutur A menggunakan kata sapaan salam dari bahasa arab yang telah masuk dalam kata serapan asing bahasa Indonesia ditambah dengan kata “wai” yang berarti nenek dalam bahasa Bima. Sedangkan penutur B menggunakan kata sapaan balas salam ditambah idiom “oe” yang bermakna sama dengan idiom “oh” dalam bahasa Indonesia, “Rita” merupakan nama penutur A, dan kata “lu u” yang bermakna “masuk”, serta dipertegas dengan bahasa Indonesia kembali.

Friedrich Nietzsche


Tuhan Sudah Mati!,Filsafat Friedrich Nietzsche

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme [1] (Ãœberwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Ãœbermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).

Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.

"Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harafiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi.

Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri.

Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan

Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ãœbermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.

sumber : www.detik.com

Aku Menjadi Tua


lari-lari jauh aku coba
mengitari mimpi yang muda
menjangkau asa hanya tiada

kadang lelah aku jalan
ku biarkan tungkai menapak
jejak yang tertinggal tak lagi tampak
ditelan kabut pagi senin

malam hampiri tak ada arah
bulan tak temani aku tetap
bintang hanya melihat lirih
ku kuatkan hati tuk mantap

pergi entah datang kapan
badan telah bosan untuk lelah
rambut mulai menipu putih
dengarku tinggal dengung lamban

tak ku lihat diri
yang menua digigit sepi

ku dengar orang memanggil
aku pulang. akhirnya, aku kembali

Menanti


menantimu

tak tahu aku malam ini jadi apa?
ketika sepi jadi selimut
saat kabut buramkan mata pada langit

aku takut ketika malam datang
ketika yelda terjadi ditiap malamku
bukan lagi malam pertama musim semi yang panjang
bagai kasih tak sampai bulan dan matahari

malam

sepi itu sekali lagi menerjaku
merajam tiap sel yang mengatur nyawaku
menidurkan jiwa yang ambruk olehmu
petaka jadi biasa karenamu

gulita

aacchh,...
tergadai aku pada rasa
terlanjur serah terima padamu
maka, ku nanti yang tak berujung
ku tunggu kau yang berlari
bukan padaku tapi menjauh

Masyarakat Tutur

Masyarakat Tutur.
Menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 46) masyarakat tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bhasa tertentu yang dpat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.
Chaer dan Agustina (2004 : 36) mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu kelompok orang atau masyarakat memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu.
Fishman dalam Cher dan Agustina (2004 : 36) mengatakan masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggitanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Masyarakat tutur menurut Kridalaksana (2008 : 150) ialah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standart yang sama.
Gumperz dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai.
William Labov dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipasi penutur dalam seperangkat norma bersama ; norma ini bias diamati pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasai yang basatrak yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu.
Dalam masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech) yang berbeda-neda yang pada gilirannya nantu menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu anggota-anggotanya dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang berbeda yang nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa yang berlainan. Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status sosial ekonomi anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek yang berbeda.
Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang lebih kecil.
Anggota-anggota sebuah masyarakat tutur tidak hanya dicikan oleh bentuk bahasa yang digunakannya, tetapi juga ditentukan oleh pandangan atau persepsi mereka terhadap bentuk bahasa yang digunakan oleh mereka dan bentuk bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat yang lain. Misalnya, masyarakat tutur bahasa Jawa dialek Solo-Yogyakarta memiliki persepsi bahwa varian bahasa yang digunakannya memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian dialektal yang lain seperti bahasa Jawa dialek Jawa Timur.
Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek. Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek. (Nababan dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 39)
Verbal repertoire ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoil sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Masyarakat tutur yang repertoire pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula.
2. Masyarakat tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistic yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Fishman dan Gumperz dalam Chaer dan Agustina (2004 : 38) mengatakan bahwa masayarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan barbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
Dalam sebuah masyarakat tutur, terdiri atas dua jenis pnutur menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 48) yakni :
1. Penutur berkompeten (Fully Fledge Speaker)
Penutur berkompeten ialah penutur yang benar-benar mampu menggunakan bahasa dalam berbagai pengetahuan tentang kosa kata dan struktur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikannya secara pragmatis. Seorang penutur yang berkompeten harus memiliki empat pengetahuan yakni : (1) pengetahuan mengenai gramatikan dan kosa kata suatu bahasa, (2) pengetahuan mengenai kaidah-kaiah berbahasa (ules of speaking), misalnya, pengetahuan bagaimana memulai sebuah pembicaraan, (3) pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur yang berbeda-beda, sepertyi perintah, permohonan atau ucapan terima kasih, (4) penegetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.
2. Penutur Partisipatif ( Unfully Fledge Speaker)
Penutur partisipatif ialah penutur yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau komunkasi. Seorang penutur partipatif biasanya ialah seorang pendatang dalam sebuah masyarakat tutur dan ia mengalami sebuah culture shock atau gegar budaya. Wijaya dan Muhammad (2006 : 51) memberikan contoh sebagai berikut :
Seorang penutur asli bahasa bali pindah ke kota semarang. Ia mendengar seorang tetangganya yang penutur bahasa Jawa mengatakan
“ Sesuk aku arep tunggu manuk.”
Secara harfiah kalimat tersebut berarti
“Bsok saya akan menunggu burung.”
Orang bali tersebut tidak memahami makna sebenarnya kalimat tersebut sebab ia hanya memahami kalimatnya secara harfiah, padahal, kalimat tersebut bermakna
“Besok saya akan menghalau burung.”
Perbedaan penafsiran kaliamt ini karena penutur dan lawan tutur memuliki perbedayaan budaya.
Didalam sebuah masyarakat tutur terdapat individu-individu yang melakukan tuturan. Individu-individu tersebut melaksanakan komunikasi antarindividu yang terjadi melalui dua tindakan yakni peristiwa tutur dan tindak tutur.

Faktor Penyebab Alih Kode

Faktor Penyebab Alih Kode
Peralihan kode boleh juga disebabkan oleh dorongan batin penutur, misalnya karena kekecewaan, ketidakpuasan, tanggapan tentang sesuatu yang sensitif.
Menurut Fishman dalam Chaer dan Agustina (2004 : 15) menyatakan bahwa secara umum penyebab alih kode ialah :
1. Pembicara, seseorang pembicara seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” dari tindakannya.
2. Lawan bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya, karena penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur.
3. kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama.
4. perubahan sitiasi bicara. Misalnya, sebelum kuliah dimulai mengunakan ragam bahsa informal atau santai atau bahasa daerah namun ketika perkuliahan dimulai menggunakan ragam bahasa resmi yakni bahasa Indonesia.
5. berubahnya topik pembicaraan. Misalnya, ketika dua orang pekerja berbicara berhubungan dengan topik kantor menggunakan bahasa Indonesia, namun berubah ketika mereka berbicara tentang topik perempaun atau rumah tangga.
Poedjosoedarmo (2001 :23) menengarai adanya 15 alasan yang tidak brsifat tidak tetap. Alas an-alasan tersebut ialah :
1. Mensitir kalimat lain.
2. Berbicara tidak langsung.
3. Perubahan status.
4. Ketidakmampuan menguasai kode tertentu.
5. Pengaruh kaliamt yang mendahului.
6. Pengaruh situasi bicara
7. Kendornya penguasaan diri.
8. Pengaruh materi percakapan.
9. Pengaruh hadirnya orang ketiga
10. Keinginan menyesuaikan diri
11. Bertujuan mendidik lawan bicara
12. Dalam kegiatan belajar.
13. Sedang bersandiwara.
14. Pengaruh basa-basi dan ungkapan.
15. Pengaruh maksud-maksu tertentu.

Waktu Malam


waktu malam
aku mengenal kotaku lebih baik.
jalan-jalan sepi pengunjung
tinggal kopi dan rokok
menyesap di warung-warung mimpi.

jadi ada cerita untuk esok matahari
tentang tikus-tikus yang menguasai kota
mereka keluar dari rumah persembunyian
dibawah kota
menjajah tanpa tumpah darah

bulan, bintang, dan awan
tak ada yang peduli. sebab kami
bukan orang dulu. kami orang
yang mengaku orang kota.

waktu malam
aku melihat roda-roda berderak
bekerja penuh tangisan knalpot yang
mengusung sayur bertumpuk macamnya,
tahu berblek-blek, daging, ayam,
dan semua kehidupan yang bisa dijual.

seorang nenek terlihat menyunggi sebakul
besar ikan segar
menyerahkan diri pada kerja
hanya untuk cita anaknya yang kelak
akan durhaka dan membuangnya.

waktu malam
aku lihat wajah kotaku lebih jelas
lubang-lubang menganga dari batas
hingga batas. taman-taman bertebaran
menyajikan indah yang hanya sementara

seorang ibu dan tiga anaknya terlelap
diatas dipan bambu beratapkan langit
dikampung kumuh tengah kota
dekat gedung megah yang angkuh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kotaku

anak itu lelap
terlalu capek sehabis bermain dijalan-
jalan sepanjang hari
menengadahkan tangan, bertepuk tangan
sambil joget atau mengusap mobil mimpinya
dilampu-lampu merah.

sementara ibunya, sibuk sendiri
ditempat yang katanya rumah
( padahal, hanya sebuah gubuk dari kardus
dan kayu tripleks tembelan, yang bahkan
tak mampu menutupinya ketika terlentang
tuk bercinta, membagi dunia dengan lelaki)
duduk termenung melihat sungai. menanti
suami yang mengayuh becak, dan
anak-anak kecilnya yang "gembira" dijalan

waktu malam
aku membuka pagar besi rumahku yang tak
terkunci
bapakku yang mulai renta dimakan rokoknya
melihat ku lewat jendela hanya berkata
"masuklah, pintu tak tertutup"


Surabaya, 4 november 2008

03 November 2008

aku sayang


aku mengerti ketika aku tak bisa memuaskan keinginanmu, kau jadi sebel ma aku, sayang.
tapi aku juga tahu kalo kmu selalu bisa maafin sikap acuhku (hehehehehe curang ya,...)rasanya seneng aja deket ma kmu, endut. pas kmu cerewet apalagi pas manyun gitu.
sayang, maaf ya. klo aku dah bikin kamu kepikiran terus,.. moga aja nggak kepikiran yang jelek2. yah,.. walaupun aku sering narsis tapi aku kadang nggak pede gitu klo kmu ajak ke kampusmu di UNAIR sana.

sayang, klo emang ada yang nggak sreg ngomong aja. aku emang jarang jeles tapi ya bisa jeles juga.

kita