Sabtu, 10 Oktober 2009

Surat Untuk Ibu


assalamualaikum, ibu.

telah kukirim beratus cahaya.
sampaikah?

lewat waktu ini anakmu ingin mengiba.
menghatur rindu yang berjuntai kemana
dibakar makin terasa ada.

ibu,
masihkah sepi kau berdiri?
senyumkah kau menerima hadiah malam dariku
atau,
menangiskah engkau diasapi malu karenaku.

ibu. dalam pelukmu yang menganga kasih
aku serahkan diri menanti senyummu yang syahdu

tahukah kau, wahai ibunda
akan ada darahmu yang kan mengalir setelah ini.
yang menyatukanku dengan dia yang mengenal mudamu
yang akan mengembangkan pinak kami jadi milikmu kedua

ibu,
sampai sini saja kali ini.
esok malam kita kan bercanda
saling lempar kalimat-kalimat gurau sampai senja mati.

-muharram, 10 10 09-

sedang merayu (lagi)


Sesepinya aku menjagamu
tak sesepi ini

ketika nafasku tinggal satu-satu
berhembus dalam sukmaku
namumu yang rela ku tukar dengan hidupku

bertambah jua hati 'tukmu.

Jingga

Sajak lama kian usang
di makan ngengat pagi tadi
lama-lama besi ini 'kan luruh jua
lama-lama hati ini 'kan luluh juga

samar jelas aku lihat
kepak jalak merebut pagi
dari matahari

maka, jadilah mimpi itu jingga

apinya bakar atiku
membakarnya bagai tumpukan daun
kering di musim gersang

sedang kau masih saja bersalju
beku. tak tahu mau

-muharram,SMAN 6, 3.10.09-

Senin, 05 Oktober 2009

Jingga


Sajak lama kian usang
di makan ngengat pagi tadi
lama-lama besi ini 'kan luruh jua
lama-lama hati ini 'kan luluh juga

samar jelas aku lihat
kepak jalak merebut pagi
dari matahari

maka, jadilah mimpi itu jingga

apinya bakar atiku
membakarnya bagai tumpukan daun
kering di musim gersang

sedang kau masih saja bersalju
beku. tak tahu mau

-muharram,SMAN 6, 3.10.09-

Mendung Pertama Di Musim Kemarau


mendung pertama di musim kemarau
seakan menghujam jantungku
yang kering menanti kepulanganmu

bunga rangkai mulai kuyu oleh gagu udara
dan daki di tengkuk pun mulai menebal kembali

tlah ku siapkan sebuah makan malam untukmu
dengan lilin putih menjuntai tiga baris
yang belum terjamah perawan apimu

anginnya jadi biasa
bukan segar seperti dulu
yang selalu menuntaskan dahagaku
akan dirimu

taukah kau alamat pulang?
bukankah telah ku kirim beribu merpati
-alamatku tak beda dengan terakhir kali kau datang-

dihati aku mengiba
jadi ini menanti

-muharram, sept,09-

Keluarga Sendiri



Sesuramnya aku melihatmu
ku masih lihat pelita
mengintip dicelah gelap pojok kamar kita

berapa lama lagi matahari lahir
lelah aku merangkul kaki
tegak kepala
jinjing beban anak pinak yang belum
reda jua merintih lapar

bayi kita menangis minta terang
minta susu untuk melebur luka
dia lucu benar. perut besar
kecil kaki dan tangan. busung lapar

sayang, kita mesti bertahan
dalam badai gulita ini
kobarkan diri
pincing mata
tutup luka dengan segala ludah

sesuramnya aku melihatmu
ku masih mengintip cinta sesak
diruang hati bersama

-muharram, sept 30.09-